Minggu, 01 Desember 2013

miss midwife 2013

kampus aku ngadain acara. beberapa diantaranya yaitu lomba foto genic, pemilihan miss midwife, sama story telling. nah, banyakbanget yang antusias sama acara ini,
kebeneran banget aku ikut salah satu jadi peserta pemilihan miss midwife. itu aja aku jadi korban kelas karena ga ada yang mau. tapi, aku malah berantusias lama kelamaan. soalnya aku liat orang orang juga antusias. aku sama peserta lain itu di tes dulu. ada tes tertulis, ada tes wawancara bahasa inggris dan tes bakat.
kebetulan juga aku dapet posisi runner up. itu aja akuga nyangka. soalnya aku anaknya sama sekali bukan ke cewe an. aku anaknya sangat ke laki laki an.
buat persiapan malam puncak aja aku minta tolong sama indah temen aku buat nglatih jalan pake sepatu ber hak.
terus 1 minggu sebelum malam puncak, aku bilang ke ibu kalo aku ga punya dress apa lagi long dress.jadinya ibu buatin aku gaun yang menurut aku cantik banget, mkaasih ibu :)

ini ada foto foto pas malam puncaknya.


ini foto aku pas dapet bunga sama tropi












SERAYA BUNGA MAWAR

SERAYA BUNGA MAWAR

Tuhan,
Hari ini aku merasakan kegundahan yang tiada bertepi. Aku lalui hari ini penuh dengan semangat perjuangan menebus dosa.
Aku berlari mengejar mimpi yang begitu tinggi tapi belum setengah pun aku sampai
Aku ingin selesaikan malam ini juga walau sampai jari pun tinggal tulang belulang
Beradu cepat dengan matahari yang kemarin aku temui setiap pukul 5.23
Tuhan,beritahu aku jika matahari akan segera terbit
Karena air yang berada di ujung mata ini siap jatuh ke pangkuan

Kemarin, aku mengadu pada teman
Aku ceritakan semua keluh dan kesahku, lalu dia beri aku nasihat
Aku tanyakan lagi padanya, lalu dia berkata “aku lupa dengan ceritamu. Ceritakan kembali..”
Lelah aku bercerita

Lalu hari ini, aku keluhkan pada seorang wanita
Peluhnya jatuh deras sekali
Wajahnya terlihat berseri seri, beban di panggulnya begitu berat
Aku ceritakan padanya semua yang aku rasakan
Kebosanan, kelelahan, sakit, dan tingkat jenuh maksimal
Aku meneteskan air mata, dan aku katakan kalau aku lelah berjuang. Dan aku menangis.

“nak, kalau kamu mengatakan lelah aku pun lebih lelah. Kalau kamu katakan bosan, aku pun lebih bosan. Kalau kamu berhenti berjuang, sia sia lah aku
Nak, aku tak pernah mengatakan jenuh dengan apa yang sedang aku lakukan sekarang. Aku tak pernah lelah menunggu harapan yang sedari dulu aku tunggu. Aku tak pernah lelah menunggu kamu memakai toga.
Aku tak pernah lelah menunggu pucuk mawarku mekar dan harumkan nama wanita tua berambut putih ini. Aku menangis karena aku bahagia dan begitu bangga memiliki gadis yang begitu berbakat, cantik, pandai dan tak kenal menyerah. Aku bangga memiliki putri sepertimu. Aku menangis bukan karena kau menjadi beban, tapi kau sebuah kebanggaan.”
Kata wanita itu penuh dengan senyuman,

Hay wanita tua, aku menangis karena dirimu
Aku menyesal mengatakan itu bu
Aku menyesal untuk lelah, jenuh dan bosan.

Pelukku tanda maaf, akan ku tebus dosa ini dengan berikan aroma harum untuk hari tua mu..

Sabtu, 09 November 2013

my birthday. 5 november 2013

di tanggal 5 november, aku seneng banget. orang orang masih mencintai aku. aku dikelilingi oleh mereka yang selalu sayang sama aku. Alloh adil ngasih aku ibu yang selalu bikin aku nyaman, yang selalu mengerti keadaan. Alloh tau, mana yang pantas untuk akuu.
pagi di hari selasa itu, ibuku mengirimkan semuah pesan, yang membuat aku menangis setengah mati.

from my mother


sureprise from my bestfriend
kalian begitu istimewa. sangat istimewa...
sampai kapanpun tetep kayak gini ya. kita bukan hanya teman, sahabat, tapi kita sodara :)








@LIBERO , PWT
yaaa, aku berterimakasih aja. udah dikasih temen temen yang begitu baik dan begitu berharga kayak kalian :) kalian orang yang berarti dalam hidup aku





wimpi sama winda dateng, kasih kejutan. winda, qonita, risa, vina missyou, Wimpi love you.
kado istimewa dari Allah.
aku bersyukur banget punya sodara kayak winda risa qoqon vina, yang masih inget sama semuanya. yang selalu sempet buat aku. ada disaat kepepetpun. i miss you all, T.T

wimpin :* kenapa sih kamu selalu ada? aku harap kamu bakalan jadi yang terakhir buat aku. aku seneng banget bisa deket sama kamu teruus. kamu selalu bikin aku senyum, ketawa, dan selalu bikin aku semangat. i love you sayang :)
terimakasih kejutannya. kamu yang terbaik, dan kamu yang akan selalu dihati aku, kamu yang selalu rela. aku akan banggain kamu, dan ga akan ngecewain kamu. aku bakal bikin laki laki lain iri ngeliat kamu punya aku dan wanita lain juga akan iri ngeliat aku punya kamu :* {}






from indah




from tapir




Sabtu, 19 Oktober 2013

untuk sebuah sentuhan

Untuk sebuah sentuhan

Separuh jiwa, tertinggal disana
Bersama halusnya hembusan nafas
Separuh jiwa, ada disini
Bersama jejak yang dia tinggalkan di dalam hati

Peluh yang jatuh itu, pertanda bahwa jantung ini berdebar
Perasaan ini ada karena ada dia yang bernafas dalam pelukan
Dan sejuta pesona tumpah dlam tatapan
Mungkin karena dia memang seseorang dalam impian

Cukup tahu, satu dari semua yang pernah aku lalui
Satu dari semua yang pernah aku temui
Satu dari semua yang pernah kurasakan
Ini yang paling tulus, ini yang paling indah
Ini yang selalu membuat aku diam
Dan ini yang membuat aku nyaman

cassandra. tetap jadi milikmu

Tersenyum dan hanya bisa tersenyum
Menikmati indah cunta tulus darimu
meski jarak memisahkan langkahku
Kau tetap sempurna dan berarti bagiku
Kini kusadari, penantianku hanya padamu

Meskipun ku jauh kutetap mencintaimu
Tak akan berakhir cinta sejati darimu
Meskipun tak bisa, Ku genggam erat tanganmu
Cinta ini tetap menjadi milikmu

Suatu saat jika ku bersamamu
Kan kujaga dirimu hingga diujung waktu
Kini kusadari, penantianku hanya padamu

Meskipun ku jauh kutetap mencintaimu
Tak akan berakhir cinta sejati darimu
Meskipun tak bisa Ku genggam erat tanganmu

Cinta ini tetap menjadi milikmu

Selasa, 15 Oktober 2013

fallen


I can't believe it, you're a dream coming true
I can't believe how I have fallen for you
And I was not looking, was content to remain
And it's ironic to be back in the game

You are the one who's led me to the sun
How could I know that I was lost without you

And I want to tell you, you control my brain
And you should know that you are life in my veins

You are the one who's led me to the sun
How could I know that I was lost without you

I can't believe it, you're a dream coming true
I can't believe how I have fallen for you
And I was not looking, was content to remain
And it's erotic to be back in the game

You're a dream coming true
Oh, my my my, I have fallen for you
A dream coming true
Oh, my my my, I have fallen for you
You're a dream coming true
Oh, my my my, I have fallen for you
Yeah yeah, a dream, a dream
My my my, I have fallen for you

ibu, aku ijinkan kau menikah lagi

Ibu, aku ijinkan jika kau menikah lagi.
Terserah, Alloh tahu mana yang pantas untukku. Mana yang cocok untuk kehidupanku.Alloh yang telah memasangkan antara jiwa dan raga ini. Untuk adikku yang matanya selalu berkaca kaca. Untuk ibuku yang selalu tertawa agar tak terlihat bersedih. Untuk kakakku yang bersikap apatis, padahal perduli. Untuk bapakku yang selalu ingin berubah. Untuk saudara saudaraku yang menganggap aku anaknya sendiri padahal mereka memiliki beban yang begitu bertumpuk.


Author:Fullin Rakhmawadah



Hidup memang tidak sesuai jalan yang kita inginkan, tapi tujuan itu terlihat jelas, sekali lagi hanya jalannya yang berbeda. Banyak di dunia ini kasus yang bisa kita lihat. Banyak orang sukses yang memiliki cerita hidup yang perlu kita pelajari. Mungkin cerita ini seperti cerita fiktif, hanya karangan seorang gadis yang ingin menjadi seorang penulis. Tapi semua itu salah, cerita ini bukan fiktif tapi nyata dan tidak ada yang di buat buat.
Cerita ini aku alami sendiri, kisah hidup yang benar benar aku jalani. Dan dengan tujuan aku ingin orang lain tahu, bahwa hidup kita adalah yang pas untuk kita. Yang tuhan pilihkan untuk kita. Dan ini isi hati yang ingin aku bagikan untuk semua orang.
Aku hidup dengan seorang janda. Wanita cantik penuh dengan tanggung jawab. Dia berusia sekitar 42 tahun, tapi wajahnya seperti wanita berumur 39 tahun. Matanya indah, senyumnya menarik. Aku mengenalnya dari sejak aku lahir, di tambah 9 bulan aku di dalam kandungannya. Sudah 18 tahun aku hidup bersamanya. Dan sudah selama itu pula aku mengenal seluk beluk tentangnya. Apa yang dia sukai, apa yang dia benci, suasana apa yang dia mau, dan siapa saja yang ia ingin temui aku tahu. Aku paham benar.
Aku tahu, apa saja yang membuat dia menangis apa saja yang membuat dia tersenyum apa saja yang membuat dia hancur, dan siapa saja yang membangkitkannya. Semua ia lalui dengan senyuman, walau pernah ibaratnya pisau pun hampir menggores tangannya. Mungkin ia berfikiran kalau sakit goresan itu takkan pernah bisa menggantikan rasa sakit hati yang selama ini ia rasakan.
6 tahun yang lalu,
Suara tangisan terdengar dari bilik kecil yang aku sebut kamar. Aku lihat pelan pelan saat itu. Aku lihat sosok wanita memakai baju putih celana hitam, dan berjilbab terlihat dari belakang, sedang merangkul dua bantal sesekali mengusap wajahnya.
“ibu kenapa?” tanyaku
“Tanya bapakmu sendiri, kenapa ibu bisa seperti ini” (mengusap air matanya)
“pak… kenapa ibu bisaaa…” belum selesai aku bicara bapakku datang dengan keaaan yang sangat tergesa-gesa.
“sri, maksudmu apa sri? Apa salahku?”  bicara pada ibu lalu bapak memalingkan muka dan menghadapku sembari bicara  “lihat kelakuan ibumu, apa pantas seorang istri seperti itu?”
Lalu bapak mulai bicara pada ibu lagi “maumu apa sri maumu? Aku capek kalau seperti ini terus..”
“kamu Tanya mauku apa? Kamu mau tahu mauku apa bambang?? Aku mau kamu sudahi semua ini. Biarkan aku mencari uang dengan tenang bambaaaang!!!???”
Wanita itu beranjak dari tempat tidurnya yang berbunyi, lalu ia mendorong suaminya yang sedang berdiri. “apa salahku hah? Apa kamu tidak suka aku mencari uang??”
“ya!! Aku tidak suka cara kamu mencari uaaanng, aku mau kamu berhenti bekerja. Aku mau kamu berhenti bekerja dan manut dengan aku. Aku bisa mencari uang, bisaa!!!!” kata bapakku,
“pekerjaanku tidak haram! Ini pekerjaan halal, aku mencari uang dengan mengumpulkan satu persatu baju yang aku jahit, aku rangkai. Apa itu salah? Lalu selama ini apakah kamu menghasilkan uang?? Sekolah anak anak siapa yang bayar?? Apa itu pakai uang mu??” ibuku menangis tak tertahankan.
“jadi maumu apa sri?!! Aku hanya ingin kau menjadi wanita rumahan menjaga anak anak, apa itu salah??” kata bapak,
“salah? Itu sangat benar bambang, benar benar sangat benar. Tidak satu huruf pun salah dari mulutmu. Aku mau, mau sekali jadi istri rumahan yang setiap hari menerima uang dari jerih payah suaminya. Tapi apa kamu bisa memberikannya?? Atau kamu akan menjual beberapa pohon kayu untuk membuat aku tidak berkutik?? Lam lama aku yang kamu jual!!” kata ibuku panjang lebar.
Lalu mas ku datang dengan membawa pulpen di tangannya. Karena ia memang sedang belajar sebelumnya.
“dik, bawa adekmu. Ambil adekmu, aku takut kalau dia jadi bahan banting dua manusia ini.” Aku pun menuruti kemauan mas ku. “kalian orang tua macam apa yang saling beradu di depan anak anak kalian? Harusnya kalian malu pak, bu. Malu… apakah dengan seperti ini seorang istri mengabdi kepada suaminya?? Apakah dengan seperti ini seorang suami melindungi istrinya?? Aku capek pak, bu, mendengar kalian selalu seperti ini. Terserah mau kalian jadi apa, terserah !!!” kakakku menyeretku keluar dan masuk kedalam kamarnya.
Aku tak tahu apa yang terjadi di luar saat itu, aku menangis sambil merangkul adikku yang tak berdaya. Hanya mata sayunya yang bisa aku lihat sekarang. Hanya cairan yang entah apa rasanya yang bisa aku keluarkan dari mataku, memerah, dan berair.
“silahkan mau pilih yang mana pak, bu. Mau pilih pisau atau botol, silahkan!! Aku tidak perduli dengan apa yang kalian lakukan, terserah, aku takkan melihatnya..” kata mas ku. Aku mendengar dari dalam kamar. Terdengar jelas, karena rumah yang kini aku tempati hanya berdinding bambu..
Tuhan, mungkinkah ini yang namanya takdir? Mungkinkah iniyang sebut nasib? Mungkinkah aku yang kau pilih? Benarkah aku manusia terpilih dari berjuta juta manusia yang hidup di dunia ini? Bisakah kau jawab pertanyaanku ya Alloh? Tuhanku semesta alam, limpahkanlah rizki untuk orang orang yang melindungi hamba, untuk orang yang melahirkan hamba, untuk orang yang berdiri menopang hamba, untuk orang yang pernah memberikan kesakitannya untuk hamba…. Ya Alloh, bisakah kau turunkan sebatang emas berlian untuk ibu hamba? Bisakah kau ciptakan 3 ekor sapi saja untuk bapak hamba, bisakah? Ya Alloh, segala rahmat dan karunia yang Engkau berikan untuk hamba, benar benar hamba terima. Hamba dengan lapang dada, menjalani cobaan yang Engkau turunkan, seperti yang pernah pendahulu-pendahuluku rasakan. Tuhan, turunkan hujan sebagai penenang suasana ini, agar orang orang tak mendengar celotehan orang tua kami.. agar orang melihat harmonisnya keluarga kami.. rizki mu kami nanti ya Alloh.. amiin..
Aku tahu, semua ini memang bukan pilihan dari kedua orang tuaku. Diantara mereka tidak ada yang benar. Tidak ada yang memiliki rasa mengalah. Selalu mengedepankan emosi dan kata kata kotor.
Tiga tahun lalu itu bukanlah kenangan terburuk yang pernah aku alami, masih ada cerita tentang hal yang sama yang mungkin sakit sekali untuk aku rasakan sebagai seorang anak. Anak perempuan yang ingin merasakan lembutnya sentuhan tangan bapak membelai rambut panjangku. Ingin merasakan indahnya berlian yang bapak berikan untukku. Mungkin di leher, di pergelangan tangan, atau di antara jari jemariku.
Aku pernah menelan pahitnya kata dari seorang bapak kandung yang selama ini aku banggakan.
Saat itu, saat aku duduk di bangku kelas 2 SMP. Aku hanya ingin menegur bapakku yang berpolah seperti anak kecil. Yang ingin di openi  istrinya. Padahal istrinya saja masih repot mengurusi aku dan kakakku yang akan berangkat sekolah. Menyiapkan sarapan.
Aku hanya menegur sekali, tapi bapakku tak memperdulikan. Aku kesal dengan bapakku, aku bahkan ingin sekali membantah segala perkataannya. Kebencianku dimulai saat itu. Kebencian penuh dendam.
Ketika pulang sekolah, aku masih memendam rasa itu. Ingin sekali aku membantahnya. Saat itu aku baru saja mselesai berganti pakaian, lalu bapakku memerintahkan aku suatu hal, aku lupa apa. Maklum, kejadian itu sudah selama ini. Lalu aku bilang pada bapakku “tidak mau”. Bapakku bilang, bahwa aku di perintahkan untuk tidak menjadi anak yang susah diatur dan disuruh. Lalu dengan seenaknya aku menjawab “bapak punya hak apa memerintah aku? Memangnya bapak yang melahirkan aku? Bapak yang membiayai aku sekolah? Bapak yang membuatkan aku makanan? Bapak yang memakaikan baju padaku??!” kataku dengan sedikit keras.
Lalu bapakku melempar pisau yang sedang ia pegang dan kembali dengan tatapan yang tajam melihat kearahku “ya nak, semua yang dikatakan kamu benar, tapi apakah bapak pernah mengajari kamu untuk bicara seenak sendiri ke depan orang tuamu?? Pernah? Bapak masih ingat dengan jelas nak, bapak balum pernah sekali pun mengajari kamu untuk melawan orang tua!” lalu bapak menghisap kembali rokok yang dia pegang.
“kamu ingat baik-baik ya nak, cocot mu itu dijaga! Cocot kok kaya ibumu!!” lalu bapakku mengambil pisau yang tadi dia lempar dan pergi entah kemana.
Aku terhanyut dalam lamunan,
Ya Alloh, aku tahu aku berdosa. Berkata seperti itu pada bapakku sendiri. Aku tak pernah berfikir sebelumnya ya Alloh..
Alloh, apakah aku harus menerima kata kata seperti itu juga ya Alloh, sebagai imbalan atas perkataanku pada bapak? Jika Engkau maha adil, berikanlah yang terbaik untukku ya Alloh, untuk bapakku juga. Jika memang aku bersalah atas kelakuan ku, aku terima dengan lapang dada cobaan darimu untuk aku pelajari. Jika Engkau menyayangiku, kirimkan aku jawaban ya Alloh, jawaban terindah yang bisa membuat aku tak berkutik dengan kuasaMu, yang bisa membuat aku tahu betapa salahnya kata dan perbuatanku. Amiin.
Aku merindukan sosok pahlawan dalam hidupku, cerita cerita tentang seorang bapak yang aku dapatkan dari teman temanku, cukup membuat hatiku iri. Ada yang bapaknya setiap hari mengambil padi disawah mereka untuk dimakan, ada juga bapaknya yang setiap hari pergi ke sekolah untuk mengajarkan menulis dan membaca, ada juga yang setiap hari tak dirumah karena bapaknya yang bekerja sebagai seorang TKI.
Aku? Aku bercerita di depan mereka, betapa bapakku adalah seorang pahlawan dimataku. Yang selalu mengajariku bernyanyi, membaca, mengajariku sopan santun, mengajariku bertutur kata baik, dan mengajariku sebagainya. Dan kawanku tertegun.
Itu dulu, aku menceritakan kebohongan. Kalau sekarang aku ceritakan kepada khalayak, dan itu, lebih bohong lagi.
Yang lebih menyakitkan lagi, melihat ibuku di aniaya hatinya dari jauh oleh suaminya sendiri. Di fitnah, dan di maki. Kejamnya dunia ini tak bisa mengalahkan kejamnya perlakuan seorang suami pada istrinya sendiri, ibuku.
6 tahun, 6 bulan yang lalu. Ibuku bergabung dengan sebuah lembaga investasi bernama K-LINK. Dimana perusahaan ini menawarkan bisnis obat herbal, makanan herbal dan semua yang berbau dengan herbal. Ibuku tertarik. Dan mengikutinya. Bapakku sangat bertentangan dengan keinginan ibu. Bapak khawatir jika ikut lembaga ini semua kekayaan akan habis untuk modal. Padahal, ibuku masuk ke lembaga ini bukan untuk ikut dalam bisnisnya, tetapi hanya sebagai penyedia tempat rutin serta pengumpul masyarakat saja.
Ibu berfikiran seperti ini, jika ibu berhasil masuk, ibu sudah di janjikan nantinya akan mendapatkan pesanan baju seragam dari perusahaan itu. Ibu percaya percaya saja karena yang menjajikan itu adalah teman lama yang di pertemukan kembali, kurang lebih bigini percakapan yang pernah ibu ceritakan padaku dulu,
Awalnya kawannya itu bertanya, “bagaimana kamu sekarang? Usaha apa? Katanya buka jahitan ya??”
“iya, mi. (namanya Mia). Aku membuka jahitan dirumah, ya luymaya udah bisa buat merombak rumah, kamu gimana?” kata ibuku
“aku sekarang kerjanya di kantor, perusahaan K-LINK. Obat herbal gitu. Begini Sri, aku punya ide, bagaimana kalau kita bekerja sama saja?? Jadi, kamu masuk dulu jadi anggota, kamu tidak perlu memberikan modal, nah kebetulan kita lagi butuh deragam untuk anggota anggota kita yang ada di kota ini Sri. Bagaimana??” bujuk kawan lama ibuku.
“tapi, apa gak papa kalau aku tidak memberikan modal?”
“gak papa Sri, sma teman iuni. Anggap saja itu hadiah dari aku, kebetulan aku memegang jabatan yang lumayan disana. Bagaimana? Kan lumaya, tuh, kamu Cuma menyediakan tempat aja kalau kita mau promosi di daerah kamu, nanti kalau kamu udah punya anggota kamu juga bisa kok dapet uang. Gimana??”
“bener kan aku ga perlu uang buat modal?”
“ga perlu Sri, aku nawarin ini ke kamu kan biar kamunya untung. Coba bayangkan ada sekitar 300 anggota di kota ini. Masing-masing seragamnya itu ada 4 seragam. Berarti total ada 1200 potong. Lumayan kan Sri, dari pada aku tawarkan ke orang lain kan lebih baik ke teman sendriri kan??”
“Kamu bener juga ya, ya sudah kamu tinggal hubungin aku aja lagi yah. Nanti tinggal kita bicarakan baiknya saja” kata ibu mengakgiri cerita pertemuannya dengan Mia.
Tapi impian ibu untuk bisa maju dalam usahanya pupus sudah. Setelah pertemuan yang di adakan di rumah, bapakku kembali bertingkah. Ia menemui mas Tegar, seorang yang cukup andil di bidang itu seperti mba Mia.
“suami anda mengetuk mobil yang kami kendarai dan dia berkata untuk tidak mengganggu Anda dalam keadaan apapun. Tidak mengganggu Anda dalam kesempatan apapun. Suami Anda juga mengancam apabila saya masih menghubungi Anda, suami Anda akan bertindak semau dia sendiri. Saya sudah cukup malu mbak, di bentak dia di depan umum. Anda saja yang tidak melihatnya. Sudah, cukup saya berurusan dengan orang macam Anda. Saya tidak mau berurusan dengan orang yang susah seperti Anda dan suami Anda. Mau di bantu kok ngelunjak. Saya prihatin dengan Anda mbak punya suami tapi tidak mendukung Anda, malah menjelek jelekan Anda di depan kami dan di depan umum.” Kata mas tegar dalam beberapa pesan untuk ibuku dulu,
Begitulah kirakira akhir dari ke pupusan harapan ibu yang ibu ceritakan dulu. Aku masih ingat jelas, aku masih ingat seberapa besar pengorbanan ibu dan segampang apa harapan ibu hilang dan pupus takkan kembali lagi. Harapan yang di rajut kemudian di bongkar oleh orang yang pernah menyayanginya dan orang yang pernah bercumbu dengannya. Sungguh naas.
Tak semudah itu ibu menyerah. Aku beranjak SMA. Saat itu adalah saat saat dimana aku ingin menjadi seorang yang di perhatikan. Namun hilang sudah, ibuku sibuk dengan keadaan yang menjepit. Kakakku ikut membantu ibu mencari uang. Beruntung masalah tidak lagi datang disaat saat seperti ini.
Kekososngan maslah kembali terisi. Saat itu, ibu sering sekali pergi, belanja kain keperluan jahitan. Alhamdulillah pekerjaan ibu bertambah, ada karyawan juga yang membantu, saat itu ibu sedang menerima pesanan dari Jakarta, dalam satu kali kirim ibu mengirim 600 pasang baju muslim anak-anak. Pesanannya kira kira 3 bulan sekali. Kalau kata ibu sih, cukup untuk mempersiapkan biaya kuliahku. Ibu sangat menginginkan aku kuliah, kuliah dan kuliah.
Bukan hanya pesanan dari Jakarta saja yang sedng ibu garap pada saat itu. Pesanan dari batam juga ibu terima. Sekarang sudah menyebar pelayanannya ke luar kota. Bahkan pesanan dari daerah bondowoso serta Kalimantan juga pernah. Intinya ibu sekarang sudah cukup dan berani untuk menyekolahkan aku di universitas.
Aku beranjak kelas 2 SMA. Aku melihat keluargaku sekarang sudah berbeda. Kami saling memahamj, saling mengerti satu sama lain, dan bapakku sudah bertobat rupanya. Setiap hari canda dan tawa menghiasi keluarga kami. Indah sekali, ini yang aku impikan dari dulu.
Namun semua itu tak bertahan lama, saat itu bapakku sangat sering keluar rumah. Entah apa kerjaannya. Tapi seorang tetangga yang kebetulan masih saudara, dan kebetulan sangat dekat dengan ibu. Dia sering bercerita dengan ibu, curhat satu sama lain. Ibuku curhat betapa pahitnya hidup dengan seorang suami pengangguran, ia curhat betapa tersiksa batinnya yang setiap hari harus bersama dengan keluarga yang selalu mencerca. Nasibnya hamper sama, perbedaannya hanya suaminya yang bertanggungjawab.
Panggil saja dia mbak Ida. Sangat dekat dengan ibu. Semua seluk beluk ibu ia tahu, ibu pun begitu, semua seluk beluk tentang mba Ida, ibuku tahu. Aku bahkan sering mendengar mereka menangis bersama, menceritakan keluh kesah satu sama lain.
Mbak ida pernah menceritakan kelakuan bapak di belakang ibu. Ternyata bapak menjelek jelekkan ibu. Begini kurang lebih ceritanya,
“saya saja heran bu lik, lik bambang berani beraninya menceritakan hal yang sangat rahasia menurut saya ke depan orang orang. Dia bilang kalau lik sri itu suka sekali main belakang, suka selingkuh dan pulang malam. Pokoknya semuanya di jelekjelekkan. Dapet uang seberapa saja engga, tapi gayanya seperti bekerja untuk uang milyaran. Kalau lik sri tidak menikah dengan lik bambang, katanya pasti gak bisa kayak sekarang. Masih miskin. Itu modal kan modalnya lik bambang, harusnya terimakasih sama lik bambang. Katanya si gituuu” kata mba Ida.
Aku tahu rasanya seperti apa, seperti luka yang sengaja disiram dengan air garam. Eh, bukan bukan, seperti luka yang disiram dengan alcohol 70 persen. Periiiih sekali.
Dan itu bukan hanya sekali, berkali kali. Dan banyak laporan tentang kelakuan bapakku. Ibuku sudah lama tidak tahan dengan semua itu. Singkat cerita, ketika bapak pernah bercerita di depan orang orang sana, bapak pernah berani bersumpah bahwa berita yang dia katakan itu benar, dan dia berani bersumpah di sambar petir.
Ibuku sangat syok menerima berita seperti itu, ia sangat heran mengapa suaminya sendiri melakukan hal yang sangat hina kepada istrinya. Ibuku mencari berbagai sumber dan berita itu benar.
Saat itu, yang bisa ibu lakukan hanya bicara pada orang yang ia anggap orang tua. Nini Gia, dia adalah adik dari orang tua ibuku. Ibuku menceritakan semuanya. Tidak ada yang menangis mendengar cerita ibuku.
“Bambang sudah berani seperti itu padaku mbok, aku mencari uang untuk kebutuhannya juga mbok, tapi apakah ini balasannya? Aku malu mbok maluuu. Aku di permainkan oleh bojo ku sendiri. Ini kah balasan dari semua yang aku lakukan mbok?? Apakah selama ini aku tidak ada benarnya dimata mereka? Dimata bojo ku, dimata keluarganya? Bambang mbok, bambang yang selama ini menyakiti aku tapi aku tak pernah balas apapun. Sekarang aku tak melakukan apapun tapi dibalas seperti ini mbok. Aku binguung harus bagaimana mboook… sumpahnya itu bohong mbok bohong….” kata ibuku.
Nini Gia hanya menjawab,
“santai Sri, semua itu pasti ada balasannya. Aku tahu kamu benar dan dia salah. Kita tunggu saja, kalau kamu merasa benar sesuatu akan terjadi padanya. Tidak akan lama, tunggu saja ya Sri. Sabar. Alloh itu adil, sekarang, usap air matamu nak, nini sangat sedih melihat kamu menangis. Kamu sekarang pulang, mandi dan solatlah. Kamu bicara pada Alloh, meminta penjelasan pada Nya. Berdoalah, baca surat Yassin selama 7 kali dalam 7 malam. Alloh akan cepat mendengar doamu nak… ingat, jangan kamu berdoa yang macam macam, jangan berdoa atas nama dendam, tapi berdoalah, meminta yang terbaik untuk dirimu, yang terbaik untuk bambang, untuk anak anak mu dan untuk orang orang mu. Alloh akan memberikan yang terbaik untuk bambang, Sri. Percaya pada nini….” Kata nini untuk ibuku.
Ya Alloh, aku hanya bisa memohon padamu ya Alloh. Aku hanya bisa meminta segala hal padamu. Aku tak ingin apa apa terjadi pada orang tuaku. Baik bapak maupun ibu. Aku tak ingi semua terjadi begitu saja. Aku ingin Kau memberikan apa yang harusnya kau lakukan ya Alloh. Lakukanlah apa yang menjadi kehendakmu, yang terbaik untuk bapak, untuk ibu, dan memberikan pelajaran yang berharga ya Alloh. Aku tak ingin Engkau memberikan balasan kepada diantara mereka, tapi aku ingin Engkau memberikan yang terbaik untuk keduanya ya Alloh. Bicarakan dan suarakan KuasaMu yang begitu agung, yang begitu indah. Amin.
3 bulan setelah itu, aku sedang sekolah. Aku pulang dengan suasana yang sepi. Hanya ada aku, adikku, dan masku. Aku bingung, dan disaat itu masku sudah siap untuk pergi.
“bapak masuk rumah sakit, kamu dirumah sama adekmu ya. Ini sangunya. Kalo berangkat sekolah kamu titipin adekmu ke mba Yati. Dia kan biasa ngurusin. Kalo berangkat sekolah ati ati yah. Aku mau nyusul ibu ke HI.” Kata mas ku
“loh, bapak masuk rumah sakit?? Kok bisa?” kataku
“bisa lah, nanti aku ceritakan, aku udah buru buru. Ini udah ga ada waktu lagi. Kamu baik baik dirumah ya. Kamu udah aku titipin ke uwa. Kalo ada apa apa kamu bilang saja ke uwa ya.. Assalamualaikum” kata mas ku sembari keluar rumah menuju salah satu rumah sakit di kota.
“iya ati ati mas, Wangalaikumsalam.” Jawabku,
Entah apa ceritanya, aku menjadi gelisah sekali tidurnya, biasanya bangun saja sampe di bangunkan oleh orang orang rumah, sekarang bangun sendiri jam 3 pagi. Aku langsung memasak air untuk mandi dan untuk minum. Menunggu air masak, aku menyetrika bajuku yang akan aku gunakan pagi ini. Setelah selesai aku mulai merenung, sebenarnya apa yang sedang terjadi. Tiba tiba hapeku bordering..
“hallo, assalamualaikum.”
“waalaikumsalam, hallo nak?”
“iya bu ada apa?”
“lagi ngapain kamu? Kok udah bangun?”
“iya bu, lagi belajar. Nanti ada ulangan.”
“oh, yaudah semoga nanti bisa ngerjain. Ini bapak mau bicara, biar bapak jadi inget. Bapak tadi bangun bangun kayak orang linglung. Ga inget siapa siapa gak inget kamu gak inget punya anak berapa ga inget ibu ga inget siapa siapa…” kata ibu
“bapak, ini siapa? Ini siapa pak??” terdengar suara ibu yang menuntun bapak untuk bilang namaku “bapak? Denger aku gak? Ini siapa pak??”
Tidak ada suara, hanya bapakku yang terdengar seperti orang yang tidak bisa bicara. Gagu.
“nak, bapak kena stroke. Ini lagi di obtain. Sebelumnya biasa aja, tapi sekarang jadi gini nak. Kamu yang sabar yah. Kirim doa untuk bapak. Biar cepat sembuh bisa pulang lagi.” Kata ibu sambil menangis. Terdengar jelas ibu sedang menangis disana.
Ya Alloh, apakah ini jawaban yang Kau berikan?? Apakan ini, jawaban yang selama ini kami tunggu? Suatu keadilan atas rencanaMu? Suatu kebijaksanaan atas segala yang Kau lakukan? Ya Alloh, ini sebuah pelajaran yang Kau berikan atau cobaan yang Kau jajal kepadaku? Ataukan ini hukuman untuk bapakku? Segala pertanyaan ini mohon Kau berikan aku jawaban ya Alloh, aku rindu jawaban indahMu. Apakah Kau yakin aku bisa melakukan semua ini ya Alloh? Kau yakin aku bisa menjalankan yang Kau berikan ini? Tak cukupkah adikku Kau titipkan pada kami ya Alloh? Kau maha tahu. Tahu mana yang bisa aku lakukan dan bisa aku jalani.
Ya, dalam doaku, aku sebut sebut adikku. Kurasa Tuhan telah memilih dan memilah mana orang orang yang memiliki hati baja, memiliki sikap bijaksana yang sanggup menerima semua ini. Kurasa Alloh telah memilihkan jalan ini untuk kami. Keluarga yang sangat kecil. Kurasa orang orang seperti kami yang lolos seleksi untuk diberi cobaan. Alloh tahu siapa yang pas untuk menerima cobaan ini, karena Alloh tahu jika orang lain yang mendapatkannya mereka tidak cukup kuat. Ya, beginilah pikiranku selama ini. Agar aku tetap bersyukur dan berterimakasih. Walau terkadang keluh kesah saling aku lontarkan satu persatu.
12 tahun 8 bulan yang lalu,
Sebuah penantian panjang untuk waktu yang cukup lama. Ibu hamil untuk anak yang ketiga. Ya, adikku sekarang. Tentunya bapak masih sehat benar saat itu. Masih gagah masih gemuk. Kelahiran ketiga ini cukup rutin bagi ibu untuk memeriksakan kandungannya kepada seorang bidan. Seorang bidan yang sudah di percaya ibu untuk menangani kelahiran anak ketiganya. Bidan itu yang dulu membantu ibu dalam proses kelahiranku juga.
Namun entah dimana titik kesalahannya, yang jelas bidan itu memberikan injeksi oksitosin kepada ibuku sampai 2 kali waktu. Injeksi oksitosin atau yang biasa orang awam sebut dengan suntik pacu. Aku tahu seperti apa rasa sakitnya. Aku juga pernah mempelajarinya, karena sekarang aku juga sekolah di kebidanan. Rasanya seperti di paksa untuk keluar. Sudah disuntik 2 kali dan sudah merasakan sakit, tapi entah mengapa sudah 2 hari sejak di suntik pacu, bayinya tidak mau keluar. Bayinya juga sudah tenang bahkan tidak ada pergerakan sama sekali. Ibu pernah menceritakan kejadian itu dan seperti ini percakapannya dengan bidan,
“bu Dwi, apakah kandungan saya tidak apa apa? Sudah 2 hari saya merasakan sakit dan sekarang kandungan saya tidak ada gerak sama sekali bu..” kata ibuku saat itu
“masa? Padahal sudah saya suntik 2 kali loh. Mungkin belum waktunya, tunggu saja ya bu. Nanti pasti lahir” kata bu Dwi meyakinkan ibuku
“apa tidak perlu dirujuk ke rumah sakit saja bu??” ibuku meminta
“tenang saja bu, saya masih sanggup kok. Ini karena belum waktunya saja. Sebentar lagi pasti ibu bisa merasakan kok” kata bu Dwi lebih meyakinkan lagi.
Kata ibuku, ibu langsung saja percaya dengan keadaan ini. Karena ibu fikir, yang namanya ibu dengan bu bidan lebih tahu siapa si? Pasti kan lebih tahu bu Dwi. Bu Dwi lebih tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Sudah 1 minggu ibu tidak merasa apa apa di dalam perutnya. Bahkan seperti tidak ada kehidupan disana. Namun sakit itu muncul lagi, sakit terindah yang pernah ibu rasakan dulu seperti akan melahirkanku atau mas ku. Akhirnya ibu dibawa kerumah sakit. Dengan keadaan KTD atau ketuban pecah dini.
Aku tidak melihat langsung bagaimana kejadiannya. Aku hanya diceritakan ibu seperti apa kondisinya. Saat adikku lahir keadaannya sangat membuat ibu sakit hati, bayi normal harusnya lahir dengan warna kemerahan. Tetapi adikku lahir dengan warna kebiruan. Kata dokter, itu disebabkan karena air ketuban yang sudah keruh dan busuk di dalam kandungan ibu. Kulit adikku pun berwarna biru busuk. Bau, dan mudah mengelupas. Dokter saja sangat hati hati melakukannya. Selain itu, adikku tidak menangis. Bunyinya seperti orang yang sedang cegukan. Matanya merah seperti ada darah di dalamnya. Seluruh tubuhnya terbungkus oleh lendir.
Dokter saja sampai bilang seperti ini,
“bu, anak ibu bukan anak yang menjijikan seperti keadaannya saat ini. Anak ibu adalah anak yang luar biasa. Dia sanggup bertahan hidup di dalam perut ibu, tanpa nutrisi tanpa air tanpa makanan, bahkan ia sanggup berenang dalam air yang baunya minta ampuun. Dia anak yang luar biasa, dia anak yang kuat, dia sanggup melewati semua ini, di dalam sana, di keadaan seperti itu, sendirian bu. Hanya sebatang kara di perut ibu. Saya kagum dengan anak ibu, sebelumnya saya mengira anak ibu sudah meninggal disana, tanda tanda kehidupan sudah tidak ada. Gerakan sudah tidak teraba, denyut jantung janin ibu sangat lemah. Ibu, ini bukan akhir dari segalanya. Ibu hanya orang yang Tuhan pilih untuk menjaga hamba Alloh yang begitu kuat, yaitu anak ibu. Ibu adalah manusia terpilih bu.” Kata dokter menyemangati ibuku
“tapi tidak mungkin anak saya akan tumbuh normal kan dok?” kata ibuku merasa tidak terima
“bu, ini adalah cobaan. Memang putri ibu tidak bisa tumbuh normal, putri ibu sangat rentan terhadap sakit nantinya. Pertumbuhan otaknya sangat lambat. Bukan hanya otaknya tetapi fisiknya juga. Tapi semua ini bisa berubah sesuai kehendak Alloh bu, ibu rajin rajinlah berdoa. Latih putri ibu nantinya. Harapan itu selalu ada bu. Selalu ada.” Kata dokter menyemangati
Ibu hanya menceritakan sampai ini. Selanjutnya adalah kehidupanku dirumah bersama adikku dengan pertumbuhan yang sangat lambat. Sudah beribu ribu macam pengobatan ibu lakukan dan coba. Dari medis sampai non medis. Dari yang ada di dalam kota sampai keluar kota. Dari berobat ke kyai, sampai ke biksu dan ke pendeta. Mereka memiliki cara pengobatan masing masing, dan semua pernah di coba.
Dari beratus ribu hingga berjuta juta. Semua di keluarkan demi kesembuhan. Namun akhirnya, ibu pasrah, terserah apa kehendak Tuhan untuk menangani kepasrahan ini. Semua pengobatan di hentikan. Ibu mulai dengan cara yang baru, melatih adikku untuk bergerak. Melatih bicara, bernyanyi, dan duduk. Sering juga dilatih untuk berjalan. Ibu melatih adikku layaknya anak berumur 9 bulan. Tapi nyatanya, adikku berumur 3 tahun.
Hingga adikku berumur 5 tahun, ibuku masih punya harapan, padahal adikku baru bisa duduk dan menyebut kata “mama”. Tapi itu suatu pertumbuhan dan perkembangan yang cepat untuk anak anak seperti adikku. Sangat bangga pada saat itu, adikku terus di latih dan di latih.
Aku bisa lihat di mata adikku. Di lubuk hati yang paling dalam, dia adalah anak anak normal, yang ingin berlarian, ingin mengejar, ingin bermain, tapi keterbatasan ini yang membuat keinginan dalam hatinya terkunci rapat. Aku tahu, aku tahu benar, dalam hatinya yang paling dalam dia ingin berteriak menyebut nama ibu, sembari menangis, sembari memeluk dan bicara seperti ini,
“ibu, terimaksih telah menjagaku selama ini. Selama aku di dalam kandungan, selama hidupku beberapa tahun ini. Ibu, aku tak tahu kapan bisa membalas semua kebaikanmu, semua usahamu untuk menyembuhkanku, aku juga tidak tahu apakah aku bisa sembuh atau tidak. Ibu, apakah aku telah membuatmu susah seperti ini? Apakah aku telah membuatmu sengsara? Apakah aku telah membebani hidupmu? Aku dirawat selama sembilan bulan di dalam kandungan saja aku sudah sangat berterimakasih pada mu bu. Aku minta maaf bila aku telah merepotkan ibu. Aku juga ingin seperti anak anak lain yang bisa bersolek dengan gaun indah, yang bisa menguncir rambutnya, yang bisa bergaya di depan kamera. Yang bisa mencoba lipstick yang biasa ibu pakai ketika pergi.
Tapi Alloh memilihku untuk seperti ini bu. Alloh yang telah memasangkan jiwa dan ragaku. Aku tidak bisa mengikuti perintah ibu untuk menjadi seperti yang ibu mau, karena Alloh mau aku seperti ini. Tenang saja bu, nanti kita bertemu di surga, aku yakin kita bertemu di surga. Sekali lagi maaf kan aku sudah merepotkan mu ya bu, aku minta maaf…” begitulah kira kira isi hati adikku yang paling dalam.
Bahkan, kesakitan ini belum cukup untuk adikku. Saat adikku berumur 6 tahun, ia diserang penyakit gatal yang entah apa namanya. Seluruh tubuhnya di penuhi dengan bintik bintik seperti cacar, namun bernanah. Amis sekali baunya. Ia menderita penyakit ini selama satu bulan kurang. Setiap hari ia menangis, mungkin karena rasa gatalnya yang mengganggu. Kepalanya terpaksa ibu gunduli, hanya memakai tutup kepala yang setiap harinya ibu ganti. Bahkan terkadang tutup kepala ini menempel di kepala karena nanahnya itu yang membuat merekat. Kasian sekali adikku. Orang orang sekitar rumah tidak ada yang mau mendekati adikku, bahkan terkadang beberapa orang menunjukkan rasa tidak sukanya terhadap bau adikku di depan mata. Mereka sangat tidak sopan. Mungkin tidak pernah belajar arti nama menghargai atau menghormati.
Berbagai macam obat pun ibu coba. Dari salep murahan cap 88 yang ada di warung warung, sampai obat apotik yang di buat khusus oleh seorang ahli. Belum rejeki adikku, karena adikku tidak sembuh sembuh.
Alloh memang adil, ini seperti kisah nabi Ayub a.s. beliau di beri sakit gatal dengan tiba tiba yang berbau untuk mengujinya namun Alloh juga dengan tiba tiba mengangkat penyakit itu seketika. Begitu juga dengan adikku, gatal itu datang dengan tiba tiba, lalu di angkat oleh Alloh dengan tiba tiba juga. Gatal dan nanah itu tiba tiba saja hilang tanpa meninggalkan bekas. Tidak membekas sama sekali di kulitnya. Bahkan kulit adikku menjadi lebih putih dan mulus.
Aku tahu kemampuanmu tiada tara ya Alloh. Aku tahu aku tahu aku tahu,
Aku tahu, setiap langkah yang kami lakukan selalu Engkau pantau dan Engkau jaga ya Alloh, karena kami bersama malaikat kecilMu. Jaga dia ya Alloh, aku ingin kebahagiaan untuk dirinya. Kebahagiaan untuk kami dan kesempurnaan untukMu. Amiin.
Aku pun masih ingat, sewaktu kecil dulu. Saat aku duduk di bangku kelas 2 SD, masku kelas 5 SD. Ya, karena selisih kami hanya 3 tahun. Adik kecilku yang baru berumur kira kira 4-5 bulan, sepertinya. Aku lupa saat itu. Seorang temanku, dia laki-laki bernama Andi, entah kepolosannya, atau ketidaktahuannya tentang sopan santun, atau memang dia anak yang nakal. Dengan gamblangnya dia bicara di depanku,
“heh kamu! Kamu sekarang punya adik ya?” tanyanya dengan gaya seperti preman, karena dia memang anak yang nakal.
“iya An, perempuan. Kenapa?” aku jawab dengan senang senang saja. Karena aku piker dia memang ingin tahu.
“haha, eh kata orang orang adikmu itu idiot ya?” Tanya ia lagi seolah ingin tahu
“engga, kata siapa?” jawabku dengan raut muka yang mulai kesal.
“ah, bohong. Kata orang-orang kok. Hahaha adik mu idiot idiot idioot….” Jawab andi dengan nada mengejek dan mengulurkan lidahnya.
Aku memang baru kelas 2 SD tapi hatiku sudah dilatih menjadi orang yang kuat. Aku tahu rasanya seperti apa, aku bisa merasakan ejekan itu. Sakit benar benar sakit. Adikku tidak idiot tidak idiot tidak idiot……..
Ejekan itu hanya segelintir dari kepolosan Andi. Aku tahu benar, namun dari pernyataan Andi yang dia katakana “aku kata orang orang”, berarti diluar sana adikku dikatakan idiot oleh orang orang. Sakit sekali mendengar pernyataan seperti itu.
Saar itu aku sedang berdiri memeluk pintu kelas, aku melihat dari jauh sosok mas.ku di depan kelas juga. Aku panggil dia,
“mas!!” panggilku sembari melambaikan tangan.
Masku datang, “kok nangis?”
“tadi mas, si Andi masa bilang kalau adik kita idiot mas,” kataku, dan aku melanjutkan cerita percakapanku dengan Andi.
“ya sudah, Andi mana?”
“main di belakang sekolah mas sama teman teman”
“yuk ikut,” masku menyeretku untuk ikut, dan aku terima terima saja.
Dan ternyata, masku menghampiri Andi, dengan bicara baik baik kalau berita yang dia bawa tidak benar. Dan sekali masku mengancam,
“Andi, kalo kamu nakal lagi sama adikku, kamu aku pukul lho ya, ngerti ga??” kata masku, dan Andi pergi lari ketakutan.
Aku melihat sosok yang bertanggungjawab dari masku. Dia walaupun sangat nakal dan merepotkan, tapi sangat bertanggung jawab. Dia sosok yang patut aku kagumi, yang berani demi adik perempuannya karena dia mereasa bertanggungjawab atas diriku.
Kembali ke awal cerita, tentang bapakku yang mendapat cobaan. Saat itu aku kerumah sakit dimana bapak dirawat, dan aku melihat begitu sangat mengenaskan kondisi bapak. Bapak yang dulu gagah berani, sekarang bapak menjadi orang yang penakut, dulu bapak yang tegap jalannya, sekarang menjadi orang yang pincang. Dulu bapak yang selalu bicara lantang, sekarang menjadi orang yang tidak bisa bicara. Bapak melihat kanan kiri depan belakang seperti orang yang tidak tahu arah. Aku menangis dalam hatiku, mataku mulai memerah, memancarkan rasa iba yang begitu besar.
Bapak, mengapa kau jadi seperti sekarang pak? Apakah kau tidak bisa bertingkah layaknya dulu pak? Aku takut, aku takut. Jujur, aku melihat bapakku sendiri layaknya bapak yang bukan aku kenal, kelakuannya seperti orang stress. Aku bahkan takut mendekatinya. Apakah seperti ini yang namanya stroke? Aku tidak mau dekat dekat dengan bapak, aku takut, aku takut dengan bapak. Ketika bapak menyentuhku, aku mulai merasakan bahwa inilah bapakku, tapi aku tetap saja masih takut.
Aku meninggalkan bapak, aku berpamitan pada bapak. Aku takut bapak mengejarku. Satu langkah aku meninggalkan bapak, hati ini begitu sakit, dua langkah meninggalkan bapak, hati ini remuk, tiga langkah aku meninggalkan bapak, hatiku hancur tak bersyarat. Aku sangat berdosa. Aku sangat durhaka ya Alloh, aku sangat durhaka, aku tidak pantas menjadi anak perempuannya ya Alloh…..
Aku kembali menghadap bapakku, aku beranikan. Aku berlari meninggalkan langkah langkah salah, meninggalkan calon calon dosa terberat, meninggalkan sikap apatis. Ini bapakku, dia yang dulu pernah merawatku juga, dia ikut andil dalam mendidik aku. Aku tuntun bapak menuju kamar, aku usap kepalanya, aku ajak dia bicara, hati ini sangat dingin rasanya. Hiasan tetesan tetesan air mata pun jatuh tak tertahankan. Aku kembali untukmu pak, aku tahu aku durhaka, aku sadar aku salah pak.
Alloh, terimakasih Kau telah menegurku. Kau telah mengetuk hatiku, Kau telah memberikan cahaya dalam hatiku yang hamper kehilangan arah. Alloh, aku tahu aku berdosa, bagaimanapun juga dia adalah bapakku, bapak kandungku. Aku berterimakasih atas karunia yang kau berikan, kau telah memberikan tangan ini untuk aku bisa membelainya, kau memberikan aku tangan ini untuk aku bisa menyuapinya. Terimaksih ya Alloh…
Ibu tidak tahan kondisi ini. Semakin lama dirawat dirumah sakit, kondisi bapak semakin buruk. Yang tadinya hanya satu yang tidak bisa bergerak, sekarang semuanya tidak bisa bergerak. Ibu langsung membuat keputusan untuk dibawa ke pengobatan alternative dengan metode pijat refleksi. Tempatnya di daerah bukateja, purbalingga.
Tempatnya sangat sederhana, disana juga ada pondok pesantren tradisional. Suasananya sangat sejuk. Bagus sekali. Benar benar masih asri.
Singkat cerita, baru satu minggu bapak dirawat disana, perkembangannya sudah baik sekali. Bapak sudah bisa berjalan. Bisa bicara sedikit demi sedikit. Dan aku tidak memiliki rasa takut sama sekali. Aku melihat ketulusan dari ibu. Aku melihat ketulusan yang benar benar putih. Dia merawat dengan baik, menyuapinya makan, memandikannya, menyikat giginya, membersihkan seluruh badannya. Semua itu tulus.
Aku juga melihat keletihan di mata ibu. Sangat sangat letih, matanya sayu, kakinya bengkak, bibirnya pucat.  Aku datang untuk menggantikan ibu disana, ibu pulang untuk mengurusi adekku, dan aku disini untuk mengurusi bapak bersama masku.
Suatu ketika, kakakku sedang keluar entah kemana. Katanya mau mencari makan siang untukku dan untuk bapak. Aku ditinggal sendiri dengan bapak. Aku bilang ke bapak, kalau ada apa apa kasih kode atau panggil aku. Bapak juga mengangguk. Lalu beberapa saat kemudian bapak memanggil aku dengan nada kode.
“iya pak? Ada apa?  Mau kemana??” Tanya ku
“na… sh sh sh sh na…” jawab bapak
Aku sungguh tidak mengerti, lalu ku coba Tanya lagi “kemana pak kemana? Mau pipis?”
“na… sh sh, nan a ..” kata bapak sambil menunjuk kea rah alat kelaminnya.
“yuk tak anter yuk, biar ga jatuh” kataku sembari meraih tangan bapak.
Bapak meraih tanganku, aku tuntun bapak menuju pintu. Sesampainya di pintu bapak melepaskan tanganku,
“jangan di lepas pak” aku tetap memegangi tangan bapak, “bapak pegangan aja, ini turunan nanti kalo jatuh sakit loh pak..” kata ku.
“sh sh sh,, top top top… sahhhh… top” kata bapakku. Mungkin maksudnya bapakku aku disuruh stop, aku pun berhenti.
Segala aku lakukan untuk bapak, aku turuti kemauannya. Segalanya. Polahnya seperti anak kecil. Walaupun perkembangannya saat ini sangat pesat, tapi aku tahu, semua ini sangat jauh dari batas awal sebelum bapak sakit. Bapak juga sekarang kalau makan selalu memilih. Padahal dulu bapak mau makan apapun yang ada.
Ketika aku minum minuman bersoda, dengan gampangnya bapak minta minuman yang seperti aku minum. Itu terlalu kekanakan menurutku. Seperti anak kecil sungguhan. Aku bingung dengan kelakuan bapak. Apakah ini akibat dari stroke yang bapak derita??
Inikah jawaban darimu Tuhan?
Ibuku tetap bertahan dalam segala cobaan ini. Aku kira hatinya bukan hati biasa. Entah terbuat dari apa namanya. Terkadang ibuku sengaja tertawa walau air mata mengalir. Terkadang ibuku masih sempat tersenyum walau dia sedang kesusahan. Bahkan sering kali dia membelikan apa yang aku mau walau kebutuhannya sangat mendesak. Mungkin Tuhan menciptakannya dengan bahan khusus, yang lembut selembut sutra, tapi kuat lebih dari baja.
Terkadang, aku merasa bahwa cerita hidupku adalah cerita yang paling menyedihkan yang pernah ada. Tapi ketika kita melihat di luar sana, kita akan merasa lebih sangat beruntung karena Alloh cinta kepada kita.
Ketika aku mengeluh kepada salah satu sahabatku, dia seorang wanita, yang selalu mendengarkan ceritaku. Selalu mendengarkan keluh kesahku tentang seorang bapak. Dia menasihatiku seperti ini,
“kamu malu punya bapak yang menderita stroke?” katanya
“aku tidak malu, karena itu bukan kemauanku. Itu adalah penyakit yang Alloh titipkan untuk bapakku. Bapakku tak pernah meminta.” Kataku juga
“syukurlah jika begitu, aku akan marah jika kau malu dengan kondisi bapakmu”
“mengapa?” tanyaku
“karena keberadaan seorang bapak untukku adalah segalanya. Aku merasakannya ketika bapakku telah tiada. Walaupun dulu mungkin kamu membencinya, sekarang saatnya kamu menyayanginya. Sebelum Alloh mengunci kesempatan itu. Aku rindu pandangan seorang bapak walau dia tak memiliki mata sekalipun, aku rindu sapaannya walau dia tak memiliki mulut pun, aku rindu belaiannya walau dia tak memiliki tangan sekalipun. Aku harap kamu mengerti dengan apa yang aku rasakan.” Katanya
Terimakasih sahabat, kau telah memberikan petuah yang begitu berharga untukku. Kau amat sangat rindu kepada bapkmu yang sudah tiada sementara aku hamper menyianyiakan kesempatan berharga yang mungkin takkan pernah terulang lagi. Kini aku berubah.
Terkadang, aku menangis melihat ibuku tersenyum. Ibu, aku saja tidak kuat jika aku jadi kau bu. Kau benar benar cerdas, bermuka topeng. Kau mau merawat bapak yang jelas jelas dulu pernah menyakitimu. Kau benar benar wanita kuat. Segalanya ada di bahumu. Beban dan cobaan. Kenapa kau tidak menyerah bu? Kenapa kau pura pura kuat? Kenapa kau pura pura seperti ini? Keluarkan saja air matamu bu, keluarkan saja jika kau benar benar tidak kuat. Aku siap menerima amarahmu jika kau butuh objek untuk melampiaskan amarahmu. Aku siap. Daripada aku harus melihatmu seperti ini. Menahan dan terus berpura pura.
Sebenarnya, bukan ini saja rasa sakit yang ibu terima. Bukan hanya dari kelakuan bapak dulu sebelum sakit. Tetapi juga dari keluarga bapakku. Tetangga tetanggaku yang masih terikat tali persaudaraan.
Sejak dulu sebelum bapakku sakit, mereka saling bersekutu. Mungkin membuat ibuku menderita. Entah aku asal menebak atau apalah aku tak tahu. Terserah apa namanya, yang penting keadaannya memang begitu.
Ibu terkadang pergi entah kemana, pulang pulang membawa tangisan. Aku bertanya kenapa? Ibu tak mau menjawab,
Saat itu, ibu memetik daun katuk di kebun. Ia masuk keruma setelah selesai, lalu ibu mendengar cerita orang yang sangat ramai di sebelah rumah. Maklum, orang sekitar rumah sangat senang sekali kalau di suruh menggunjing. Kata ibu, suasana saat itu sangat ramai. Mereka semua tertawa terbahak bahak. Disana keadaannya kira kira sebanyak 5 orang. Mereka saling melempar canda dan tawa. Namun di sela sela tertawa mereka, seseorang salah satu yang ada disana menyebut nama “Sri”. Nama ibuku.
Kurang lebih seperti ini,
“hahaha, saya bingung dengan Bambang. Kok mau ya menikah dengan Sri dulu. Orangnya keturunannya pendek lagi. Keturunan keluarga kita kan tinggi tinggi ya? Haha. Sudah gitu, sukanya menghabiskan uang Bambang saja. Jadinya kan Bambang harus jual kayu simpanannya buat modal hidup. Keterlaluan ya?” kata seseorang disana terdengar jelas.
Bagaimana ibuku tidak sedih bila dikatakan seperti itu? Kejam sungguh. Harusnya mereka sadar. Siapa yang mencari uang selama ini? Siapa yang memberi orang yang bernama Bambang itu uang? Siapa yang mereka bicarakan? Yang mereka bicarakan adalah kepala keluarga satu satunya yang telah di telantarkan oleh saudara mereka yang bernama Bambang. Tak cukupkah bukti itu? Mungkin tingkat kesadaran mereka di bawah normal.
Bukan hanya itu, ketika Bapakku sudah sakitpun, keluarga bapakku tidak terima. Bahkan mereka menuntut kepada ibuku agar ibuku mengembalikan keadaan bapakku seperti dulu lagi sebelum dia sakit. dan aku ingin bertanya sekeras kerasnya di depan mereka. Hallo? Adakah otak di kepala kalian? Halo? Adakah hati dalam diri kalian? Bukan wanita bernama Sri yang membuat adik atau kakak kalian menjadi sekarang ini. Ibuku bukan penyihir atau dukun santet. Ibuku bukan manusia durjana yang sebida membalikkan telapak tangan membuat bapak menjadi seperti itu. Tidakkah kalian berpikir??
Mereka menuntun ibuku untuk mengobatkan bapakku kemanapun mereka mau. Jelas ibu akan memperjuangkannya. Ibu akan membuat bapak semakin sembuh dengan cara apapun. Ini atas dasar ibu bertanggungjawab sebagai seorang istri bagaimana pun keadaannya. Bukan bertanggung jawab atas dasar kesalahan ibu membuat bapak menjadi seperti ini.
Banyak diluar sana seorang suami yang meninggalkan istrinya karena istrinya tak mampu lagi melayani salah satu kewajibannya sebagai seorang lelaki. Tapi ibu? Seorang perempuan yang tidak di nafkahi sejak lama nian tetapi masih mau merawat dan bertanggung jawab. Harusnya mereka, orng orang yang menuntut berfikir, apakah istriku seperti dia? Apakah suamiku bertanggung jawab seperti dia, dia yang seorang weanita? Bukankah itu hebat? Harusnya mereka bertepuk tangan menyambut wanita ini yang dengan gagah nya berani dan mampu menghadapi cercaan yang mereka lontarkan.
Bahkan, setelah bapakku pulang dari tempat pengobatan alternative. Berbondong bonding orang datang menjenguk bapakku. Bukan bapakku yang mereka tangisi. Tetapi ibuku yang mereka beri iba. Sanggup menghadapi semua ini. Mereka memberikan ibu semangat, nasihat dan semuanya. Mereka yang ibu berikan dukungan.
Namun suatu saat. Salah satu dari kakak bapakku datang ketrumah. Dia awalnya hanya menjenguk bapak dan memberikan bapak candaan. Namun lama kelamaan, dia membuka sebuah pembicaraan.
Namanya Wa Abu. Dia berkata,
“Sri, aku tahu ini berat untuk kamu. Tapi aku mohon dengan sangat, kamu bertanggung jawab atas apa yang kamu perbuat. Kami sudah tau semuanya dari Bambang. Kami tidak akan menuntut apa apa yang penting kamu bertanggung jawab dan rawatlah dia. Buat dia seperti dulu lagi.” Kata Wa Abu.
“mau bagaimana lagi wa, aku tidak melakukan apapun. Memangnya wa tau dari Bambang itu tau apa? Apakah aku menyakiti bambang?” Tanya ibuku, dia berhenti sejenak dan kembali mengatakan “bambang cerita apa saja memangnya?”
“banyak yang Bambang ceritakan Sri tentangmu. Kamu itu terlalu sering keluar malam. Kamu tidak bisa begitu Sri. Apakah kamu mau menjadi orang yang durhaka pada suami?” katanya
“wa, kalau memang wa peduli dengan Bambang, harusnya wa bicara pada bambang. Dia tidak bisa mencari uang makanya aku yang mencari uang. Lagian wa juga sering lihat kalau aku pulang malam bukan membawa laki laki lain, aku pulang dengan karung berisi kain sebanyak itu. Aku lakukan itu karena Bambang tidak bisa melakukannya.” Kata ibuku
“terserah kau sajalah Sri, aku akan bicarakan ini dengan anggota keluarga yang lain. Apapun keputusannya. Aku harap kamu bisa mengerti” kata wa Abu yang kemudian pergi.
Lalu, ketika mas ku sedang sibuk dengan pekerjaanya. Salah seorang anggota keluarga yang masih berhubungan darah, yang sepertinya dia tidak memiliki otak babar blas. Dia datang dengan tangannya di pangku di belakang. Lalu dia bicara,
“heh, itu bapakmu di obtain si kenapa? Jangan di biarin terus doong!” katanya agak sedikit nyolot
“lagi aku obtain, setiap minggu tiga kali periksa. Aku pijitin ke alternative kok” jawab mas ku
“di operasi aja si kenapa? biar cepat sembuh kan maksudnya, kamu kan anaknya. Harusnya jangan eman eman kalo uang buat berobat. Kasian tuh bapak kamu”
“kasian? Kalo kasian sana aja kamu yang obatin. Kamu pikir, saya tidak butuh uang untuk mengobati bapak. Kamu pikir ke tukang pijit seperti itu tidak butuh uang?? Aku harus mengeluarkan uang setidaknya 600 ribu dalam seminggu. Itu bukan uang yang sedikit. Harusnya kalian tidak hanya asal bicara dan menyalahkan orang. Apakan kalian pikir kata kata kalian juga tidak semakin membuat saya kerepotan?” jawab kakakku
“tapi yakan tenaga medis lebih bagus, mereka yang lebih tahu seluk beluknya. Kalau di pijit itu kan mana tau tukang pijitnya tentang hal medis??” katanya lebih nyolot lagi
“mba, asal kamu tahu yah. Kita itu juga sudah control ke rumah sakit.nih buktinya,” mas ku menyodorkan kartu anggota control di salah satu rumah sakit “ini bukti kalau bapak sudah jadi anggota control disini, kita setiap control itu menghabiskan biaya 600 ribu mba. Apa mba pernah berfikir gimana saya cari uang? Engga kan?? Makanya jangan sok lah mba. Mending mba urusin dulu mba nya deh, udah bener belum? kalau mba nya udah ngerasa bener, ambil kaca, pastiin lagi, barang kali salah yakan??” Kata mas ku seenaknya sendiri
“kamu tuh anak kecil, lebih tua aku. Di bilangin suruh operasi aja malah nyolot gini.. emang buah itu ga jatuh jauh dari pohonnya.” Katanya
“mba, aku itu udah konsultasi sama dokter syarafnya mba. Kalo bapak di operasi. Akan ada gangguan di kepalanya. Ini udah parah, resiko terbesar bapak bisa bisa otaknya ga bisa berfungsi lagi kayak sekarang. Ini bukan masalah uang mba, tapi masalah resiko. Keadaan bapak yang sekarang aja kalian gamau ngerawat kan? Gimana nanti kalo bapak tambah parah? Bisa bisa sama kalian di masukkin ke panti jompo. Aku mau mba ngebiayain sekarang cash mba. Mau banget berangkat sekarang, tapi harus ada syaratnya. Mba sama keluarga harus tanda tangan di surat pernyataan yang isinya siap menanggung resiko yang mungkin akan terjadi nantinya. Semua resiko, baik perawatan atau pun tidak menyalahkan kami lagi.” Kata mas ku dengan tegas
“ah, susah memang ngomong sama kamu. Ibu anak ga ada bedanya!” katanya sambil menekuk muka dan pergi tanpa pamit
Begitulah kira-kira pandangan setiap orang terhadap keluargaku. Mereka benar benar keras, prinsip mereka tidak bisa di rubah sama sekali. Mereka memandang dari sudut ketidakpedulian. Kejam bisa di bilang.
Berbulan bulan ibu tidak tahan dengan sikap orang orang itu. Mereka terlalu memaksakan kehendak mereka. Ibu sudah memikirkan ini sejak lama. Ibu juga sudah berkonsultasi dengan beberapa pihak. Dari keluarganya, dari salah satu keluarga bapakku juga, dari tetua tetua yang dia anggap bijaksana. Ibu juga sudah bicara dengan pihak KUA. Bagaimana yang harus dia lakukan. Ibu menawarkan bagaimana kalau cerai, apakah itu jalan terbaik. Dan dia menjawab ya. Semua itu buka karena dia yang tidak bertanggung jawab. Tetapi karena ketidak kuatan ibuku menahan cercaan yang selama 22 tahun ini dia rasakan.
Akhirnya, perceraian dalam proses. Mungkin ibu tidak pernah berfikir dampak psikis untuk aku maupun masku. Karena ibu berfikir kami sudah besar. Tapi bagaimanapun juga, kami adalah anak. Kami butuh kasih sayang, ketenangan, dan ketentraman. Kami butuh rumah yang damai, tidak peduli apakah itu besar, kecil, bagus ataupun tak beratap.
Menunggu proses ini pun, proses kepindahan berjalan. Sebenarnya aku syok mendengar semua ini. Aku harus pindah? Kemana? Apakah ada rumah selain ini?? Dan semua itu tertunda jawabannya.
Aku masih sekolah saat itu, duduk di bangku kelas 3 SMA. Aku dalam keadaan sibuk. Ya persiapan ujian nasional dan masuk ke perguruan tinggi. Mungkin aku memang tidak pernah cerita tentang banyaknya pikiranku kepada ibu. karena aku tahu, pikiran ibu lebih banyak dari yang aku bayangkan. aku tahu kemampuanku selama SMA ini tidak terlalu baik. Aku termasuk anak yang pas pasan di banding kawan kawanku yang lain. Ini menjadi salah satu masalah untuk diriku. Aku terus belajar belajar dan belajar. Tapi lama kelamaan aku lebih sering mendengar cerita ibu di banding membaca buku. Aku juga lebih sering membayangkan apa yang akan terjadi di banding harus memperhatikan guruku menjelaskan segala macam ilmu pengetahuan.
Aku juga tidak pernah memperdulikan apa yang terjadi di kelas, apa yang terjadi dengan nilaiku. Aku lebih suka merencanakan sesuatu yang akan terjadi jika ibuku mendapat semua cobaan ini. Apakah aku akan diam, apakah aku akan membungkam mulut mereka satu persatu, ataukah aku akan merobek sedikit demi sedikit alat bicara mereka yang menyakiti ibuku? Perasaan dendam mulai muncul sekarang.
Sekarang, setiap aku melihat orang orang itu, terasa tangan ini ingin meremuk wajahnya yang bisa bermuka lain setiap waktunya. Ketika di depanku, mereka mengeluarkan wajah yang begitu manis, tanya kabar, tanya keadaan ibuku, adikku seakan akan mereka sangat perduli dengan keadaan ibuku. Seakan akan mereka sudah bertaubat dengan semua ini. Padahal, aku melihat diantara dua bola matanya.  Ada kebencian pada diri mereka, entah apa namanya. Aku melihat amarah dari mereka, aku melihat dendam dari mereka.
Kalau begitu, akupun bisa melakukan dendam sodara sodara. Aku pun bisa membuktikan pada kalian nanti, aku pun bisa menjadi yang kalian inginkan. Kalian yang ajarkan aku untuk melakukan semua ini, kalian yang ajarkan aku untuk saling menyakiti. Terimakasih atas bantuan kalian selama ini. Aku bukan anak kecil yang bisa kalian permainkan begitu saja, aku sudah dewasa, usiaku 19 tahun.
Ya Alloh, apakah ini jalan yang Kau pilihkan untuk ku? Atau aku yang sudah salah memilih jalan? Aku rindu pelukanMu ya Alloh. Apakah ini sudah menjadi suratan takdirku? Apakah ini yang Kau sebut keadilan??
Aku seorang manusia biasa yang tak luput dari dosa. Aku manusia biasa yang hanya bisa memohon kepada Alloh. Aku hanya bisa bicara dengan seperti keadaannya. Lama-lama aku juga berfikir, inilah yang telah menjadi keputusan Tuhan. Yang telah Tuhan gariskan diantara kedua telapak tanganku. Yang Tuhan pilihkan jalan yang pas untukku.
Lama kelamaan, aku pasrah dengan semua yang terjadi. Aku mulai tak perduli dengan apapun yang terjadi. Aku mulai berhenti memikirkan sesuatu yang tidak penting untuk diriku. Aku mulai memikirkan apa yang sewajarnya aku pikirkan seperti yang pernah ibu sampaikan kepadaku,
“nak, kamu tidak usah memikirkan apa yang seharusnya kamu pikirkan. Kamu tidak usah memikirkan apa yang bukan kewajiban kamu. Kewajiban kamu adalah membahagiakan ibu nak. Dengan apa? Dengan belajar, kejar cita cita kamu, kejar impian kamu, kejar semua yang kamu inginkan. Kejar semuanya. Kejar cita cita yang pernah kamu katakana pada ibu. buktikan pada mereka bahwa kamu bisa menjadi harapan keluarga. Buktikan pada mereka bahwa kamu adalah yang terbaik dalam keluarga. Ibu tahu, ini sulit bagi mu nak, ibu tahu ini sangat sulit. Ibu tak mau memaksakan kamu untuk memikirkan beban ini.”
Tak kuasa melihat ibu menahan semua ini, aku bicara.
“ibu, percaya padaku kita bisa melewati semua ini bu. Percaya padaku kita bisa membuktikan pada mereka. Ibu tidak perlu menangisi semua ini. Ibu tidak perlu lagi memikirkan mereka, kata kata mereka. Itu hanya akan membuat ibu menjadi lebih terpuruk. Ibu, kita buka lembaran baru bu. Kita awali semua disini dengan ketulusan dan keikhlasan. Ibu adalah wanitaterkuat yang selama ini aku kenal, ibu itu superhero bu. Ibu bukan wanita biasa yang bisa mereka injak injak. Ibu adalah wanita kuat. Ibu tidak perlu menyesali semua ini. Ibu bisa memulai lagi dari awal bu..”
Ibu mulai meneteskan air mata, dan ibu bicara lagi.
“nak, ibu ingin bicara padamu nak. Ibu ingin kamu tahu dan kamu mengerti. Ibu sungguh ingin lepas dari ikatan keluarga dari mereka nak. Ibu ingin kamu mengerti kalau ibu sekarang sudh dianggap bukan siapa siapa lagi oleh mereka. Ibu ingin meminta ijin kepadamu nak. Ibu minta ijin untuk bercerai dari bapakmu. Ibu benar benar ingin lepas dari ikatan keluarga dengan mereka.”
Hatiku benar benar hancur. Aku sangat hancur. Remuk berkeping-keping. Aku tidak bisa merasakan getaran tanah ini ya Alloh. Aku tidak bisa merasakan hembusan angin. Aku tidak bisa merasakan aliran darah ini ya Alloh. Alloh, bisakah Engkau kembalikan rasa itu? Rasa rasa yang telah hilang itu?
Aku tidak ingin semua ini terjadi. Ya Alloh, apakah aku akan mencintai keadaan ini selanjutnya ya Alloh? Apakah rasa itu tidak akan pernah kembali? Aku bertanya padamu ya Alloh. Aku ingin engkau menjawab semua ini. Apakah aku akan iklas menerima ini ya Alloh? Apakah aku bisa menerima semua ini? Apakah jalan ini yang terbaik? Jawaban apa yang harus aku katakan ya Alloh. Apakah aku harus jawab “iya”? padahal aku tak menginginkannya ya Alloh. Aku tak ingin menginginkan semua itu terjadi. Aku ingin dalam rumah ini ada ibu, bapakku walau sudah stroke, da nada ketiga putra putri mereka.
Lalu, apakah aku harus menjawab “tidak”? padahal aku tahu, setiap malam aku menyaksikan tetesan tetesan air jatuh dari pelupuk mata. Aku menyaksikan suara rintihan hati yang terdengar jelas dari dalam tubuhnya walau ia selalu tutup tutupi dengan suara tawa. Aku tidak tega melihat ibu selalu berpura pura di depanku ya Alloh. Aku tidak tega melihat ibu tersayat oleh kata kata. Melihat ibu terseok seok walau dia ingin sekali bangkit.
Ya Alloh, aku tidak tahu harus mengadu pada siapa lagi. Aku takut tetesan air mata kembali bertambah ketika mereka mendengar curahan hatiku. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan ya Alloh. Aku hanya bisa bicara padaMu, Engkau yang maha Mengerti dan Engkau yang Maha Bijaksana.
Aku putuskan untuk diam sejenak. Aku mulai lagi berkonsentrasi dengan semua ini. Aku mulai lagi bertahan. Aku mulai lagi merasakan getaran tanah ini. Dan aku menjawab,
“apakah tidak ada jalan lain bu? Haruskah perpisahan ini??”
“ibu juga tidak ingin ini terjadi nak. Tapi ibu ingin hubungan antara aku dan mereka itu berakhir sampai disini. ibu ingin memulai hidup baru tanpa celotehan mereka.”
“iya bu, aku tahu. Maaf kalau pertanyaanku membuat ibu menjadi seperti ini. Kalau aku ya terserah ibu saja. Mana yang sekiranya baik dan mana yang sekiranya tidak baik. Aku tahu, ibu pasti lebih mengetahui mana yang menjadi jalan keluar yang bisa membuat ibu lebih nyaman. Aku pasti akan mendukung bu. Tapi alangkah baiknya kalau ibu pikirkan lagi baik baik ya bu.” Kataku mencoba bijaksana. “aku mau tidur dulu ya bu, ngantuk….”
Aku meninggalkan ibu tanpa aku mendengarkan lagi apa kata katanya. Aku masuk kedalam kamar dan menutupnya rapat rapat. Tetesan air mata mulai turun lagi.
Aku tidak tahu apakah apa yang aku katakan benar atau tidak. Yang aku katakana tidak aku pikir pikir dahulu. Aku ungkapkan semua itu dari hati. Aku berharap ibu berfikir lebih matang lagi. Aku sedih melihat teman temanku yang broken home. Lalu sekarang ini terjadi padaku sendiri? Ya Alloh, aku mohon kepadamu. Aku mohon, aku ingin membangun kembali keluarga ini menjadi keluarga yang harmonis. Ya Alloh. Bisakah kau dengar lagi aku? Lalu jika ibu berfikir lagi dengan matang dan yang ia ambil keputusan ini adalah perpisahan? Aku merasa berdosa, aku pasti slah telah memberikan ibuku kesempatan untuk mematangkan lagi keputusannya. Aku takut jika ini benar benar terjadi ya Alloh. Aku takut sekali dengan keputusan itu. Aku sangat takut.
Ya Alloh, apakah ini yang dinamakan ketakutan berlebih? Aku merasa dingin seluruh tubuhku. Aku merasa dingin. Aku menggigil ya Alloh. Pandanganku gelap, pandanganku tidak jelas, pandanganku kabur ya Alloh.Aku ingin memeluk ibu ya Alloh. Aku ingin memeluknya, meminta padanya untuk merubah keputusannya.
Sebenarnya proses perceraian itu sangatlah lama. Bahkan sangat rumit bisa di bilang. Membutuhkan beberapa berkas yang membutuhkan perjuangan untuk mendapatkannya. Salah satunya adalah buku nikah kedua orang tuaku. Mungkin bapakku sudah mengetahui semuanya sehingga dia menyembunyikan buku nikah itu. Setiap kali aku berkunjung menjenguk bapak, pasti aku di perintahkan untuk mengambil buku nikah, bahkan sampai sampai aku berseteru dengan ibu. waktu itu aku mengantar ibu dulu ke rumah adiknya yang tak jauh dari rumah bapak, mungkin kira kira 5 menit menggunakan kendaraan. Tentu saja ibuku tiak ikut kerumah bapak. Karena nanti ibu pasti takut melihat orang orang itu, malah bisa jadi timbul masalah,
“sana kamu kerumah bapak. Ibu disini saja. Kamu tolong carikan buku nikah ya di lemari biasanya,”
“iya bu, aku pergi duluu. Kalo ada apa apa nanti sms aja..”
Aku pergi menuju rumah bapak. Sebenarnya aku juga tidak enak dengan bapak. Ibaratnya aku mendukung bapak dan ibu untuk berpisah, padahal aku tahu sendiri kalau bapak butuh bantuan untuk hidup. Tidak cukup hidup bersama dengan mas ku saja.
Aku mencari kemana-mana benar benar tidak ketemu. Di semua penjuru almari, di laci, di bawah tempat tidur. Semuanya tidak aku temukan. Aku hampir frustasi sebenarnya. Aku putuskan untuk bilang kepada ibu bahwa aku tidak menemukannya.
“ibu, aku tidak menemukannya. Aku pulang ya, bapak sudah tau sepertinya” pesan yang aku kirimkan kepada ibu.
Telepon genggamku berbunyi, ada panggilan masuk rupanya. Ternyata dari ibu.
“ketemu gak?” tanyanya
“enggak bu, udah di umpetin sama bapak” jawabku
“masa ga ketemu?? Kamu tuh ga bisa banget si? Cari sampe ketemu! Jangan balik sebelum ketemu!!” kata ibu dengan nada amarah.
Kenapa ibu jadi seperti ini? Jadi lebih ambisius untuk berpisah. Kenapa ibu sangat menginginkannya? Apa yang menjadi alasannya? Apakah harus?Aku takut. Bagaimana jika aku tidak menemukannya? Apakah aku benar benar tidak di ijinkan untuk pulang? Maunya apa si ya Alloh? Apa aku harus melakukan semua yang ibu mau?
Aku terdiam, aku tak bicara satu patah katapun. Karena memang tak ada yang bisa aku ajak bicara lagi. Aku termenung dan mulai meneteskan airmata.
Ya Alloh, mengapa aku sekarang menjadi anak yang cengeng. Yang selalu menangis yang selalu merasa bersedih? Mengapa air mata selalu membasuh wajahku? Kesedihan selalu menyapa ku dan amarah selalu menyapu bersih kegembiraan ku? Mengapa aku yang mengalami ini ya Rabb? Apa aku orang yang pantas? Yang begitu nista? Aku merasa akhir akhir ini aku selalu dalam lingkarang airmata. Selalu selalu selalu dan selalu menangis. Hapus air mataku ya Alloh, hapus walau itu perlahan dan butuh waktu.
Singkat cerita, akhirnya ibu dan bapakku bisa dan resmi bercerai. Dan aku menyaksikan surat keputusan dari pengadilan. Aku bisa melihat kegembiraan dari ibu atas terputusnya tali keluarga antaranya dan keluarga bapakku. Tapi aku melihat masih ada ketulusan dari ibu untuk bapak kandungku. Aku juga melihat secerca harapan yang sirna dari kelopak mata bapak. Dia yang saat ini butuh bimbingan malah harus di tinggal sang istri yang mungkin dulu sempat ia sakiti.
Mungkin sekarang dia juga sadar, betapa bodohnya dirinya. Semua yang ia lakukan dulu berimbas pada dirinya. Sekarang dia juga pasti memahami betapa pentingnya arti mempercayai dan menghargai. Dirinya pun pasti tahu, dulu yang sempat dia lakukan adalah hal bodoh yang mungkin takkan pernah ia ulangi. Ya, takkan mungkin, karena dia pun takkan mampu.
Kehidupan berjalan dengan lancar. Aku kembali dengan aktifitasku menghadapi ujian nasional dan perguruan tinggi. Ibuku dengan mencari orderan seragam dari beberapa sekolah sekolah. Benar benar dari nol.
Langganan yang baru, orang orang baru, karyawan baru, pekerjaan baru, dan semuanya baru. Baru di kehidupan yang lebih damai kata ibuku. Baru dalam ketenangan, baru dalam kedamaian serta kesejahteraan.
Aku pun melihat ada yang baru dalam hidup ibuku. Ada yang baru di hari-harinya. Ada yang menghiasi di setiap senyumnya. Mungkin ibuku sudah mengikhlaskan semua yang terjadi mungkin. Aku senang melihatnya bisa tertawa lagi setelah semua yang terjadi. Aku senang ibuku bisa menjadi yang dia mau setelah semua yang menimpanya. Dalam waktu kurang lebih 2 bulan dia merenung tak berdaya.  Dua bulan bukan waktu yang singkat untuk sebuah pemulihan jiwa. 2 bulan berdiam diri adalah waktu yang cukup lama.
Pernah disuatu  malam. Ketika aku baru saja merasakan jadi orang baru disekitar lingkunganku. Banyak yang berkunjung saat itu. Banyak yang sengaja datang menyapa keluarga kami. Ya walaupun sebenarnya hanya 3 orang yang berada di dalamnya. Lingkungan rumahku cukup baik. Orangnya ramah ramah dan senantiasa membantu, desa ini memang begitu masih asli kedesaannya. Ya, desa yang menjadi sejarah pemain tinju nasional kita, Cris Jhon. Kami sedang di teras rumah, bersama-sama berbincang bincang tentang semua hal. Dan ibu masuk kedalam rumah. Ada panggilan masuk rupanya. Kemudian ia angkat telepon dan aku menyusulnya. Ibuku membiarkan telepon genggamnya berada 50cm di kirinya. Ia hanya memandangi tanpa berkata dan berekspresi apapun.
Dan aku meletakkannya tepat desebelah telinga kananku. Aku mendengar seperti banyak orang yang sedang ricuh disana. Banyak dan begitu banyak sekali. Ada yang sedang marah marah, ada yang sedang tertawa, ada yang sedang merencanakan sesuatu mungkin. Dan aku mendengar satu suara lelaki yang begitu jelas, bahkan memekakkan telinga. Jelas sekali, jelas sekali dia sedang berkata yang tidak tidak. Bahkan aku memegang telepon dengan sangat erat, dan sesekali aku turunkan karena aku tak tahan. Dia berkata dengan penuh rasa tak bersalah, dia berkata dengan cara yang tidak wajar sebagai seorang manusia. Bahkan dia menyebut iblis, wanita jalang, setan lah seolah olah dia sedang berbicara dengan laki laki lah minimal. Yang dia hadapi adalah wanita, yang notabennya tidak berdaya. Bahkan jika dia tahu, dia sedang bicara dengan gadis berumur 17 tahun yang dia kenal sebagai sepupunya sendiri. Apakah dia tidak malu? Dimana hati nuraninya? Sebagai seorang manusia lah minimal. Mana?

Aku benar benar tak pandai ungkapkan kata kata, bahkan untuk mengungkapkan bahwa aku sangat mencintai ibuku pun sangat sulit.